Tak Gampang Menambah Wartawan Baru di Timika

OLEH Palupi Auliani
REGENERASI dan perekrutan wartawan baru bukan hal gampang di Timika, Mimika, Papua. ‎Kalaupun sempat ada yang masuk dari perekrutan, tak selalu bertahan lama juga.
“Sulit sekali mencari wartawan baru di sini, bisa dapat satu atau dua orang sudah bagus,” adalah ungkapan yang meluncur dari pimpinan empat media cetak yang berbasis di Timika, Mimika, Papua.
Proses perekrutan bukan tak dilakukan. Namun, tidak setiap kali proses itu mendapatkan sosok baru untuk berkipraj di dunia jurnalistik.
Ambil contoh cerita dari Radar Timika. “Kami pernah melakukan perekrutan, 30 orang masuk, lalu kami mulai pelatihan,” tutur sang Redaktur Pelaksana, Sianturi, Selasa (31/1/2017).
Jangan senang dulu. Sianturi melanjutkan cerita, pelatihan hari pertama membahas teori dasar jurnalistik dan cakupan pekerjaan wartawan. “Selesai hari pertama, tinggal 12 orang yang datang kembali pada hari kedua,” kata dia.
Materi pelatihan hari kedua adalah pengenalan lapangan. “(Hasilnya), hari ketiga tak ada satu pun yang datang lagi. Pelatihan pun usai,” ujar Sianturi sembari tertawa.
Sudah begitu, hampir semua wartawan yang melakukan kerja jurnalistik di sini adalah warga atau keturunan pendatang. Jumlah jurnalis perempuan juga tak mengimbangi kolega laki-laki.
Di tiga media lain, cerita bisa sedikit berbeda. Masih ada kemungkinan tambahan wajah baru. Namun, belum tentu juga bertahan lama.
“Ada banyak pilihan pekerjaan lain di Timika, dengan penghasilan bisa lebih besar pula, apalagi ada banyak perusahaan privatisasi Freeport,” ungkap Direktur Timika Express, Marthen LL Moru, Rabu (1/2/2017). ***

Potret Jurnalis Perempuan di Timika

OLEH Sunarti Sain 

 

MENJADI  jurnalis di Papua khususnya di Kabupaten Mimika butuh ketahanan ekstra. Apalagi untuk jurnalis perempuan. Selain wilayah geografis yang cukup sulit untuk liputan-liputan khusus, di Mimika, karakter masyarakatnya unik. Persoalan kecil saja seperti tidak mencantumkan gelar narasumber bisa menjadi hal yang besar. Belum lagi jika harus meliput di wilayah konflik atau oleh media disebut perang suku.

Tim  WAN IFRA MFC Indonesia yang bertugas di Timika  sejak 30 Januari; Palupi Auliani, Gadi Makitan, dan Sunarti Sain,  berkesempatan bertemu dan berdialog dengan sejumlah jurnalis dari empat media cetak yang ada di Mimika. Harian Papua, Radar Timika, Salam Papua, dan Timika Express.

Berbincang dengan salah seorang warga di Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika,  di depan pasar tradisional yang diberi nama Pasar Damai.
Berbincang dengan salah seorang warga di Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika, di depan pasar tradisional yang diberi nama Pasar Damai.

Dari diskusi yang dilakukan di kantor media masing-masing, terungkap bahwa hampir semua media di Timika hanya memiliki 2 sampai 3 jurnalis perempuan.  Seperti di Timika Express yang sudah berumur 7 tahun lalu di 2017 ini. Dari sembilan jurnalis yang ada, hanya ada tiga jurnalis perempuan.  Salah satunya, Yosefine atau akrab disapa Efi yang juga merangkap sebagai redaktur kota.

Selama karier jurnalistiknya, Yosefine ditempatkan pada desk yang relatif aman. Seperti bertugas di Kantor Pemkab Mimika dan DPRD Mimika.

Meski begitu bukan berarti ia bebas dari persoalan-persoalan yang menyangkut kerja-kerja jurnalistik. Kerap, Efi harus berhadapan dengan narasumber yang tidak bersedia memberikan keterangan dan menolak dengan cara yang kasar. Efi bahkan pernah mengalami kecelakaan (kapal tenggelam) saat liputan di daerah yang harus menyeberangi sungai.

“Saya punya pengalaman di lapangan ya seperti itu. Karena memang tidak pernah ditugaskan meliput di wilayah konflik. Kantor selalu mengingatkan kami untuk mengedepankan keselamatan,” ujar Efi.

Hal tersebut dibenarkan Direktur Timika Express, Marthen LL Moru, yang kami temui di ruang kerjanya, Rabu 1 Februari.

Menurut Marthen, ia memang selalu menyampaikan kepada seluruh wartawannya untuk berhati-hati dan selalu menjaga keselamatan diri. “Saya selalu kasi ingat kalau mereka punya keluarga. Ada anak, istri dan orangtua. Percuma dapat berita bagus kalau nyawa harus melayang toh.”

Marthen mengaku pernah kantor Timika Express dikepung sekelompok orang yang  keberatan dengan pemberitaan di medianya. Ia pun berusaha  menghadapi dengan kepala dingin. “Media di Timika ini harus pintar-pintar menempatkan diri. Ini kota kecil, jadi berita apa saja kalau tidak hati-hati mengemasnya  bisa menjadi masalah,” ujarnya.***