“Wah, ke Timika?”

Oleh Palupi Annisa Auliani dan Gadi Makitan

 

SERASA mendapat durian runtuh, kami menerima kabar rencana peliputan kebebasan pers ke Kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua, pada pertengahan Desember 2016. Urusan administrasi dengan kantor pun lalu tak terelakkan, untuk memastikan kami bisa benar-benar berangkat.

“Wah, ke Timika? Meliput Freeport?” adalah salah satu respons yang muncul saat pengurusan izin ke kantor.

Bagi banyak orang, tak terkecuali wartawan, Kota Timika memang familiar dengan perusahaan tambang tersebut. Tak lebih dan tak kurang. Dengan bekal yang tak lebih banyak daripada sejumlah pemberitaan dengan nama kota ini di dalamnya, kami—Palupi Annisa Auliani dan Gadi Makitan—bertolak dari Jakarta pada Minggu (29/1/2017) menjelang tengah malam menuju Kota Timika.

Setelah penerbangan selama kurang lebih tujuh jam, dengan transit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kaki kami menginjak tanah Kota Timika untuk pertama kali pada Senin (30/1/2017) pagi. Langsung bertolak dari Bandar Udara Mozes Kilangin, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan Kota Timika.

Seorang anak berjalan di jalanan Kwamki Lama, Timika, Rabu (1/2/2017). /Photo by Sunarti Sain
Seorang anak berjalan di jalanan Kwamki Lama, Timika, Rabu (1/2/2017). /Photo by Sunarti Sain

Sesuai rencana yang kami diskusikan bersama sejak di Jakarta, kami akan menjajaki semua kantor media massa di kota ini. Kami pun berencana mengalokasikan waktu berbincang dengan teman-teman wartawan yang melakukan kerja jurnalistik di sini, untuk tahu langsung situasi kerja jurnalistik di sini.

Kota Timika merupakan Ibu Kota Kabupaten Mimika, Papua. Di kota ini ada empat media cetak yaitu Harian Papua, Timika Express, Salam Papua, dan Radar Timika. Peliputan mereka mencakup seluruh wilayah Kabupaten Mikika. Selain empat media itu, ada juga kontributor dari tiga televisi swasta nasional dan beberapa media regional atau nasional.

Satu per satu kami datangi kantor media-media tersebut. Sejumlah cerita pun meluncur dalam perbincangan yang selalu berlangsung hangat. Dari situ pula, kami mendapati keberadaan PT Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport), anak usaha Freeport-McMoran, tak bisa disanggah menjadi penggerak utama perekonomian wilayah ini, termasuk kehadiran media massa-nya.

Tantangan yang dihadapi media massa—termasuk soal kebebasan pers—di sini pun akhirnya berkelindan dengan model bisnis yang masih banyak mengandalkan Freeport dan berbagai usaha kontraktor pendukungnya, selain anggaran daerah. Mereka berhadapan pula dengan tantangan kondisi geografis, “peta” kependudukan dan karakter warga, serta masih kurangnya pemahaman publik atas kerja dan fungsi pers.

“Kalau hanya didatangi di kantor, didemo, dibentak, (atau) kena ancam, itu sudah biasa di sini,” menjadi kalimat yang selalu muncul dalam setiap perbincangan dengan kawan-kawan media ini.

Sudah begitu, kualifikasi dan kompetensi wartawan pun masih menjadi “pekerjaan rumah” bagi media massa tersebut. Mendapatkan tambahan wartawan baru saja masih menjadi masalah tersendiri.

Pada hari ketiga kami di Kota Timika, satu lagi kawan bergabung bersama kami. Sunarti Sain terbang langsung dari Makassar dan tiba pada Rabu (1/2/2017). Diskusi-diskusi kami bersama para kolega pekerja media di Kota Timika pun berlanjut dan mengalir jauh, tak hanya memetakan tantangan tetapi juga mencoba mempelajari dan mencari solusi bersama.

Ikuti perjalanan kami selama di Kota Timika dalam catatan-catatan selanjutnya…

Leave a comment